Menghafal tiga ribu wajah dan alamat
rumah penduduk desa. Paham pula rupa bumi atau letak tanah persil di
desanya. Cepat membaca srapat (genstur) hasrat kegelisahan penduduknya. Inilah keahlian Amin Suwito, mantan Kepala Desa Pesangkalan (Kecamatan Pagedongan). Sosok pamong desa yang tidak lekang bahkan telah bermetamorfasis menjadi kasepuhan.
Tradisi yang sangat dimengerti rakyatnya sebagai “lurah” adalah “tirakat laku bisu”. Semacam prihatin jalan kaki dikegelapan malam mengelilingi desa tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bila berpapasan dengan kerumunan atau seseorang ia hanya meletakan udud (rokok), tidak ada kata-kata. Tentu saja orang baik atau bermaksud jahat sekalipun yang mengetahui ada kehadiran pamong desa begitu dekat menyelinap sewaktu-waktu akan berpikir untuk merendahkan sosoknya.
Mungkin beda dengan keadaan pamong atau pegawai negeri saat ini.
Dimana terlihat kadang di jam kerja pun tidak lagi mengerjakan tugas (spt,sibuk baca koran, main
game di komputer, berkerumun di muka televisi kantor atau asyik chatting).
Alih-alih tengah malam, bahkan siang dimana mereka harus hadir saat kegentingan
menyekap masyarakat karena masalah sosial atau bencana, sebagian mereka tidak kelihatan batang hidungnya.
Saat laku bisu kades
tidak menebarkan berita. Kehadiran fisik ditengah penduduk merupakan semacam
“kehadiran social” (social presention) yang jauh dari protokoler atau seremoni namun meneguhkan keyakinan penduduk
bahwa sang pemimpin selalu ada dikehidupan mereka. Lurah bagai angin yang
terus bergerak bahkan tanpa desau. Ia tidak terlihat tapi hadir dimana-mana (salah satu ajaran hasta brata).
Perjalanan malam Sang Lurah Amin seperti kisah
khalifah-khalifah agung yang menyusup perkampungan miskin guna mengkonfirmasi
laporan para menteri perihal keadaan peri kehidupan penduduk yang
sebenar-benarnya. Laku begitu pastilah menutup celah peluang laporan ABS
bawahan. Sekaligus mengasah kepekaan seorag pemimpin : benarkah rakyat
sejahtera seperti dalam laporan sehari-hari atau kemakmuran hanya ide kosong dalam mimpi
di malam hari?
Kini laku bisu tidak harus dilakukan seperti itu. Pesan moralnya, sang
pemimpin haruslah memahami denyut hati masyarakatnya, langsung dalam
ratapan yang dekat kemudian menjawab melalui aksi nyata. Pantang hanya mengobral kata-kata! (Memoar Pesangkalan, 21 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar