Selasa, 31 Juli 2012

Teladan Kesederhanaan Seorang Pejabat

Bupati Soemitro & istri.
Ditengah kehidupan yang makin materialis, dimana kaum muda kehilangan teladan hidup sederhana. Sosok Bupati Banjarnegara Ke-5 Soemitro Kolopaking merupakan inspirasi dan teladan pejabat tinggi yang tetap hidup bersahaja.
Kehidupan Bupati Soemitro tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kesederhanaan. Sebelum berkelana jauh ke Eropa semasa belia pada usia 20-an, pola hidup bersahaja sudah ditanamkan kuat oleh kedua orang tuanya sejak kecil di rumah.
Ia mengakui dalam biografinya, “Dari kecil mula saya oleh orang tuaku dididik untuk selalu hidup sesederhana mungkin, tidak menghiraukan pangkat-pangkat yang tinggi, tidak menghiraukan turunan bangsawan, tidak menghiraukan pujian, tidak menghiraukan popularitas yang kosong, partai-partai dan ormas-ormas, dan lainnya bersama-sama Pak Kromo di Pedusunan, Mbok Bikah dan Mbok Sarwinem diwarung kecil, dan pedagang-pedagang pasar di desa. Mereka semua itu adalah Saudaraku.”
Tidak jarang saat turba di wilayah Bupati Soemitro beristirahat tengah hari dengan makan minum bersama kelompok masyarakat yang tengah sibuk gotong royong. Tidak sungkan makan dan minum di tanggul ataau jalan yang sedang dibikin atau dekat saluran irigasi yang baru digali.
Kedekatan yang sangat antara pejabat tinggi dan masyarakat dimaksudkan untuk mematahkan mitos sakral jabatan. “Ada yang berkata, itu tidak sesuai dengan kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosot kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosotkan prestise seorang pembesar?” Ia mengutip keraguan kalangan kolot.
Menurutnya, hal itu tidak benar. “Tidak, pada mulanya cara kekerjasama begitu memang dulunya dianggap aneh oleh rakyat jelata dan kaum feodal. Sekarang dimasa ‘civic mission’ anggapan kolot itu telah berkurang atau lenyap. Sebaliknya, rasa persaudaraan dan saling percaya dengan perlahan-lahan mulai bertambah dan berkembang.”
Baginya, memang pekerja kasar seperti memikul batu atau tanah, masuk keselokan untuk mengatur air supaya sawahnya subur, atau mencangkul di tegalan, adalah pekerjaan yang phisiknya kotor, tapi mentalnya bersih. Berlainan sekali dengan menjalankan pekerjaan profesi secara cakap, ahli dan halus, tapi mudah muncul manipulasi-manipulasi yang ditunjukan ke korupsi yang bermacam-macam.

Era kepemimpinan Soemiitro Kolopaking sudah setengah abad berlalu. Namun hidup bersahaja yang dicontohkannya masih relevan untuk diteladani kaum muda, masyarakat dan kalangan pegawai pemerintah utamanya para pejabat.

Minggu, 29 Juli 2012

Soemitro Kolopaking Merajut Ketokohan Lokal



Semasa Pemerintahan Bupati Soemitro Kolopaking antara tahun 1927-1947, Kabupaten Banjarnegara memiliki sekitar 264 desa. Setiap 4-5 desa disatukan secara psikologis oleh seorang pinisepuh (untuk wilayah Karesidenan banyumas dinamakan Penatus, untuk wilayah Kedua dinamakan Glondong). Di Banjarnegara waktu itu terdapat sekitar 50 penatus.
Bupati  tiga zaman ini dikenal mampu membina hubungan baik dan erat dengan desa-desa serta menciptakan persaudaraan yang sedalam-dalamnya. Ia ternyata memberdayakan ketokohan lokal untuk menciptakan sistem hubungan kemasyarakatan yang efisien dan produktif bagi pemerintahan dan pembangunan. Bagaimana ia merajut ketokohan lokal di Banjarnegara?
Penatus sebagai Ujung Tombak
Sebagai Bupati, ia memandang penting laporan resmi dan rutin para camat yang dahulu disampaikan lewat wedana. Berdasarkan laporan itu, Bupati mengadakan turba (turun kebawah) dan penelitian, diikuti wedana, camat, dan sekelompok lurah. Jika diperlukan disertakan pegawai tingkat Kabupaten di bidang-bidang, seperti kepolisian, pertanian, pengairan, keagamaan, pendidikan, dsb.
Namun disamping laporan resmi, Bupati harus menjalin hubungan kemasyarakatan dengan desa secara pribadi dan rahasia. Bagaimana kehumasan ini dijalankan? Mula-mula Bupati harus memiliki penatus dengan syarat jujur, progresif dengan ukuran desa, berani, terus terang dan memiliki pengalaman hidup yang luas baik diluar maupun didalam desa.
Sebagai Bupati ia rajin menghubungi orang-orang tua itu dari waktu ke waktu. Kemudian merajutnya menjadi anyaman jaring sosial yang efektif menggerakan pembangunan.
Jam kunjungan dipilih selepas maghrib karena umumnya mereka usai bekerja diladang. Soemitro biasanya mendatangi pinisepuh sendirian, membawa senapan angin (ketika itu) untuk membidik hewan musuh pertanian. Ia berpakaian sangat sederhana, dan membawa oleh-oleh kue, tempe keripik, kacang goreng, dsb.
Ia akan menyapa para pinisepuh dengan ‘kaki’, sementara masyarakat pedusunan menyebut Bupati masa itu dengan ‘Ndara  Kanjeng’. Tidak lama kemudian kabar kedatangan Ndara Kanjeng menjadi magnet yang serentak menghimpun tetangga kanan-kiri dan masyarakat sedusun. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan tulus. Bupati lebih memilih banyak mendengarkan dengan senang hati dan terbuka laporan tidak resmi masyarakat.  Masyarakat sendiri diberi kesempatan sebanyak mungkin menyampaikan aspirasi, ‘ngudarasa’ permasalahan, unek-unek dibidang ekonomi, pertanian, sosial  dan masalah lainnya yang dianggap urgen dipedusunan.
Pada waktu sebelum tengah malam, ia akan kembali jalan kaki 8-10 km dengan diantar 3-4 pemuda yang membawa obor kalau rembulan gelap, menuju kendaraan di jalan besar. Berganti-ganti ia menyerap aspirasi diberbagai penatusan.
“Demikianlah saya menghubungi berganti-ganti semua penatusan, dan lama-kelamaan terlihatlah kemajuan desa dalam beberapa bidang. Dengan inti kerjasama, orang-orang tua dalam sistem ini merupakan ‘spear point’ (ujung tombak), yang dapat menerobos dan menyingkirkan secara diam-diam puluhan, bahkan ratusan kesulitan dan pertengkaran, tanpa kekerasan dan tanpa biaya sedikitpun. (sumber: Buku Coret-coretan Pengalaman Sepanjang Masa, Otobiografi Soemitro Kolopaking).


Sabtu, 28 Juli 2012

Ngabei Mangunyuda Sedoloji

Ngabei Mangunyuda adalah nama besar dalam khasanah sejarah Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara. Dalam periodisasi babad dan sejarah pemerintahan Banjarnegara, era ketokohannya sangat menonjol semasa era Kadipaten Banjarpetambakan.

Menurut Sejarawan Banjarnegara, Adi Sarwono era pemerintahan Banjarnegara dapat dibagi empat masa, yakni yakni periode I dimulai saat Kyai Maliu membuka pemukiman Banjar,  periode II era pemerintahan Banjarpetambakan yang dimulai dengan Kyai Ngabei Wirayuda sebagai adipati pertama, periode III era pemerintahan Banjarwatulembu, dan periode IV era pemerintahan Banjarnegara pasca Perang Diponegoro.

Ngabei Mangunyuda merupakan anak dari R Ngabei Banyakwide dan cucu Raden Tumenggung Mertayuda (Bupati ke-4 Banyumas). Masyarakat Kabupaten Banjarnegara mengenang ketokohannya sebagai adipati patriotik yang sangat keras memusuhi dan memimpin perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Darah anti penjajah terus merembes pada keturunannya. Puteranya R Ngabei Mangunyudo II bahkan memindahkan pusat pemerintahan baru ke sebelah barat sungai Merawu yang lebih aman dan memberi nama baru Banjarwatulembu (Banjar Selo Lembu).

Makam Ng Mangunyudo Sedoloji
Geger Pecinan di Kartasura pada tahun 1743 merupakan puncak perlawanan Ngabei Mangunyudo kepada Belanda. Beliau memimpin langsung prajuritnya dengan menyerang benteng (loji) VOC di Kartasura. Namun dalam penyerangan itu ia meninggal. Peristiwa itu kemudian membekaskan tokoh Mangunyudo I dengan sebutan nama Mangunyudo Sedo Loji.

Ngabei Mangunyudo memiliki tiga putera, yakni Bagus Katama, Bagus Bati, dan Nyai Kaduruan I Rama (http://pl.rodovid.org). Jasad Ngabei Mangunyudo Sedoloji dimakamkan di bumi yang selalu dicintainya yakni Kabupaten Banjarnegara. Tepatnya di Desa Petambakan Kecamatan Madukara.

Jumat, 27 Juli 2012

Kirab Hari Jadi

Gunungan Hari Jadi (doc. Humas)

Kirab Gunungan merupakan salah satu ciri khas yang menandai Kirab Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara yang berlangsung setiap tanggal 22 Agustus. Gunungan berisi  makanan, aneka jajan pasar, dan bermacam hasil bumi tersebut dibawa bersama iring-iringan kirab. Kirab merupakan simbolik perpindahan dari ibu kota lama Banjarwatulembu (kini Desa Banjarkulon) ke Kota Banjarnegara semasa Bupati Pertama  KRT. Dipayuda IV (1831-1846). Kirab diikuti Bupati dan jajaran pejabat daerah baik sipil maupun militer sebagai penanda bedol kadipaten ke pusat pemerintahan baru yang lebih strategis.

Ritual gunungan makanan agaknya mereferensi tradisi grebeg di Keraton Yogyakarta yang sudah dimulai semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).Di Keraton Yogyakarta gunungan grebeg berjumlah delapan, yakni (gunungan dharat, gepak, bromo, lanang, wadon, pawuhan (Jogjatrip.com). Sedangkan pada saat Kirab Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara ada tiga gunungan, yakni gunungan berisi aneka makanan dan jajan pasar, aneka jenis sayur mayur, buah-buahan dan hasil bumi lainnya. Keberadaan gunungan-gunungan tersebut merupakan simbol atau cita-cita kemakmuran (gemah ripah loh jinawi) bumi Banjarnegara yang akan dipersembahkan oleh pemerintahan kepada segenap rakyat.

Kirab Hari Jadi dari kota lama menempuh jarak sekitar 7 km. Melintasi perdesaan sejuk dan jembatan yang membentang diatas sungai Merawu dan sungai Serayu. Iringan rombongan  menggunakan delman atau dokar yang ditarik kuda. Perjalanan napak tilas merupakan pemandangan unik dan semarak yang hanya terjadi setahun sekali di Kota Dawet Ayu. 

Setelah rombongan sampai gedung DPRD, mereka akan berjalan kaki perlahan menuju pendopo kabupaten guna melaksanakan prosesi yang ditandai penyerahan Pataka Lambang Daerah dan Bendera Merah Putih dari ketua DPRD kepada Bupati dan Wakil Bupati. Rombongan kirab membawa serta gambar seluruh mantan Bupati (dan wakil Bupati), kemudian iringan gadis berambut panjang, pusaka, serta gunungan grebeg.

Seluruh protokoler, pidato dan sambutan pada prosesi ini menggunakan bahasa aseli banjarnegara-banyumasan.Sementara pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional khas beskap banyumasan.

Magnet diluar protokoler prosesi Hari Jadi adalah keberadaan gunungan grebeg yang ditunggu-tunggu masyarakat dan pengunjung atau wisatawan. Gunungan ini merupakan simbol kemakmuran. Saat gunungan tiba persis di depan gerbang pendopo, maka para pengunjung sontak berebut isi gunungan. Mereka bahkan rela memunguti setiap serpih sayuran maupun bulir biji dan makanan yang berserakan.
 
Mereka percaya bahwa gunungan itu sakral sehingga makanan maupun remah-remahnya yang bisa dipungut mengandung berkah. Sementara benih dari sayur atau buah-buahan yang bisa ditanam disawah atau ladang akan menambah kesuburan tanah, bebas dari hama dan kelak menghasilkan panen yang melimpah.

Kirab hari jadi hanya salah satu mata acara. Kegiatan perayaan merangkai pula acara gelar kesenian rakyat, pentas musik , bhakti sosial, donor darah, ziarah ke makam mantan bupati, kompetisi olah raga, sarasehan nilai-nilai budaya, dan evaluasi prestasi pembangunan wilayah. 

Kamis, 26 Juli 2012

Mengibarkan Kembali Merah Putih

17-08-1945 di Jalan Pegangsaan Jakarta
17-08-2011 di Istana Negara Jakarta

17-08-2010 di Lap. Kecamatan Pagedongan
17-08-2011 diAlun-alun Kota Banjarnegara


Sebelum saya tahu Merah Putih sebagai Bendera Nasional, saya mengenal dwi warna di kampungku sebagai bubur abang-putih. Ritual membuat bubur abang-putih selalu ada ketika anak yang baru lahir di kampung akan diberi nama. Orang tua pun masih membuatkanya setiap hari pasaran. 

Tradisi itu kini memudar. Tradisi yang makin hilang itu sama persis dengan memudarnya semangat orang-orang dikampungku menyiapkan tiang bambu dan memasang bendera Merah Putih pada hari-hari besar nasional. Mereka bahkan ada yang tidak tahu lagi ukuran tinggi tiang dan panjang-lebar bendera. Mereka pun tidak memiliki secuil kain yang dulu pernah menggetarkan dada para kesuma bangsa.

Jikalau ada sekolah, kantor atau instasi yang masih mengibarkan bendera sobek, usang dan warnanya pudar itupun sisi lain yang memperihatinkan. Mari, di setiap momen menjelang proklamasi kita mengapresiasinya kembali. Memberikan hormat bukan menjadikannya Tuhan. Tapi mengenang bahwa pernah ada jiwa-jiwa pahlawan yang bermoral dan karenanya kita berhutang yang telah mengantar kita bisa menghirup udara kemerdekaan!

Mengibarkan dan menghormati kembali sang Saka Merah Putih adalah mengobarkan dan menghayati kembali kejiwaan dan moralitas para pahlawan kusuma bangsa.