Semasa Pemerintahan Bupati Soemitro
Kolopaking antara tahun 1927-1947, Kabupaten Banjarnegara memiliki sekitar 264
desa. Setiap 4-5 desa disatukan secara psikologis oleh seorang pinisepuh (untuk
wilayah Karesidenan banyumas dinamakan Penatus, untuk wilayah Kedua dinamakan
Glondong). Di Banjarnegara waktu itu terdapat sekitar 50 penatus.
Bupati tiga zaman ini dikenal mampu membina hubungan
baik dan erat dengan desa-desa serta menciptakan persaudaraan yang
sedalam-dalamnya. Ia ternyata memberdayakan ketokohan lokal untuk menciptakan sistem
hubungan kemasyarakatan yang efisien dan produktif bagi pemerintahan dan
pembangunan. Bagaimana ia merajut ketokohan lokal di Banjarnegara?
Penatus sebagai Ujung Tombak
Sebagai Bupati, ia memandang
penting laporan resmi dan rutin para camat yang dahulu disampaikan lewat
wedana. Berdasarkan laporan itu, Bupati mengadakan turba (turun kebawah) dan
penelitian, diikuti wedana, camat, dan sekelompok lurah. Jika diperlukan
disertakan pegawai tingkat Kabupaten di bidang-bidang, seperti kepolisian,
pertanian, pengairan, keagamaan, pendidikan, dsb.
Namun disamping laporan resmi,
Bupati harus menjalin hubungan kemasyarakatan dengan desa secara pribadi dan
rahasia. Bagaimana kehumasan ini dijalankan? Mula-mula Bupati harus memiliki
penatus dengan syarat jujur, progresif dengan ukuran desa, berani, terus terang
dan memiliki pengalaman hidup yang luas baik diluar maupun didalam desa.
Sebagai Bupati ia rajin menghubungi
orang-orang tua itu dari waktu ke waktu. Kemudian merajutnya menjadi anyaman
jaring sosial yang efektif menggerakan pembangunan.
Jam kunjungan dipilih selepas
maghrib karena umumnya mereka usai bekerja diladang. Soemitro biasanya
mendatangi pinisepuh sendirian, membawa senapan angin (ketika itu) untuk
membidik hewan musuh pertanian. Ia berpakaian sangat sederhana, dan membawa
oleh-oleh kue, tempe keripik, kacang goreng, dsb.
Ia akan menyapa para pinisepuh
dengan ‘kaki’, sementara masyarakat pedusunan menyebut Bupati masa itu dengan
‘Ndara Kanjeng’. Tidak lama kemudian
kabar kedatangan Ndara Kanjeng menjadi magnet yang serentak menghimpun tetangga
kanan-kiri dan masyarakat sedusun. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan
tulus. Bupati lebih memilih banyak mendengarkan dengan senang hati dan terbuka
laporan tidak resmi masyarakat. Masyarakat
sendiri diberi kesempatan sebanyak mungkin menyampaikan aspirasi, ‘ngudarasa’
permasalahan, unek-unek dibidang ekonomi, pertanian, sosial dan masalah lainnya yang dianggap urgen
dipedusunan.
Pada waktu sebelum tengah malam, ia
akan kembali jalan kaki 8-10 km dengan diantar 3-4 pemuda yang membawa obor
kalau rembulan gelap, menuju kendaraan di jalan besar. Berganti-ganti ia
menyerap aspirasi diberbagai penatusan.
“Demikianlah saya menghubungi
berganti-ganti semua penatusan, dan lama-kelamaan terlihatlah kemajuan desa
dalam beberapa bidang. Dengan inti kerjasama, orang-orang tua dalam sistem ini
merupakan ‘spear point’ (ujung tombak), yang dapat menerobos dan menyingkirkan
secara diam-diam puluhan, bahkan ratusan kesulitan dan pertengkaran, tanpa kekerasan
dan tanpa biaya sedikitpun. (sumber: Buku Coret-coretan Pengalaman Sepanjang
Masa, Otobiografi Soemitro Kolopaking).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar