Minggu, 29 Juli 2012

Soemitro Kolopaking Merajut Ketokohan Lokal



Semasa Pemerintahan Bupati Soemitro Kolopaking antara tahun 1927-1947, Kabupaten Banjarnegara memiliki sekitar 264 desa. Setiap 4-5 desa disatukan secara psikologis oleh seorang pinisepuh (untuk wilayah Karesidenan banyumas dinamakan Penatus, untuk wilayah Kedua dinamakan Glondong). Di Banjarnegara waktu itu terdapat sekitar 50 penatus.
Bupati  tiga zaman ini dikenal mampu membina hubungan baik dan erat dengan desa-desa serta menciptakan persaudaraan yang sedalam-dalamnya. Ia ternyata memberdayakan ketokohan lokal untuk menciptakan sistem hubungan kemasyarakatan yang efisien dan produktif bagi pemerintahan dan pembangunan. Bagaimana ia merajut ketokohan lokal di Banjarnegara?
Penatus sebagai Ujung Tombak
Sebagai Bupati, ia memandang penting laporan resmi dan rutin para camat yang dahulu disampaikan lewat wedana. Berdasarkan laporan itu, Bupati mengadakan turba (turun kebawah) dan penelitian, diikuti wedana, camat, dan sekelompok lurah. Jika diperlukan disertakan pegawai tingkat Kabupaten di bidang-bidang, seperti kepolisian, pertanian, pengairan, keagamaan, pendidikan, dsb.
Namun disamping laporan resmi, Bupati harus menjalin hubungan kemasyarakatan dengan desa secara pribadi dan rahasia. Bagaimana kehumasan ini dijalankan? Mula-mula Bupati harus memiliki penatus dengan syarat jujur, progresif dengan ukuran desa, berani, terus terang dan memiliki pengalaman hidup yang luas baik diluar maupun didalam desa.
Sebagai Bupati ia rajin menghubungi orang-orang tua itu dari waktu ke waktu. Kemudian merajutnya menjadi anyaman jaring sosial yang efektif menggerakan pembangunan.
Jam kunjungan dipilih selepas maghrib karena umumnya mereka usai bekerja diladang. Soemitro biasanya mendatangi pinisepuh sendirian, membawa senapan angin (ketika itu) untuk membidik hewan musuh pertanian. Ia berpakaian sangat sederhana, dan membawa oleh-oleh kue, tempe keripik, kacang goreng, dsb.
Ia akan menyapa para pinisepuh dengan ‘kaki’, sementara masyarakat pedusunan menyebut Bupati masa itu dengan ‘Ndara  Kanjeng’. Tidak lama kemudian kabar kedatangan Ndara Kanjeng menjadi magnet yang serentak menghimpun tetangga kanan-kiri dan masyarakat sedusun. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan tulus. Bupati lebih memilih banyak mendengarkan dengan senang hati dan terbuka laporan tidak resmi masyarakat.  Masyarakat sendiri diberi kesempatan sebanyak mungkin menyampaikan aspirasi, ‘ngudarasa’ permasalahan, unek-unek dibidang ekonomi, pertanian, sosial  dan masalah lainnya yang dianggap urgen dipedusunan.
Pada waktu sebelum tengah malam, ia akan kembali jalan kaki 8-10 km dengan diantar 3-4 pemuda yang membawa obor kalau rembulan gelap, menuju kendaraan di jalan besar. Berganti-ganti ia menyerap aspirasi diberbagai penatusan.
“Demikianlah saya menghubungi berganti-ganti semua penatusan, dan lama-kelamaan terlihatlah kemajuan desa dalam beberapa bidang. Dengan inti kerjasama, orang-orang tua dalam sistem ini merupakan ‘spear point’ (ujung tombak), yang dapat menerobos dan menyingkirkan secara diam-diam puluhan, bahkan ratusan kesulitan dan pertengkaran, tanpa kekerasan dan tanpa biaya sedikitpun. (sumber: Buku Coret-coretan Pengalaman Sepanjang Masa, Otobiografi Soemitro Kolopaking).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar